Setelah Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan pergolakan.
Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran.
Majelis Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah ranah politik.
Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan penduduk Jawa.
Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.
Sementara itu, di Jawa belahan timur, kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit mencoba terus bertahan.
Salah satunya adalah Daha. Pada tahun 1486 Daha menggempur Majapahit, yang berada dalam kuasa Dêmak.
Sejak itu ia menyatakan diri sebagai Majapahit baru yang lepas dari cengkeraman Dêmak. Dan Dêmak ternyata tak bisa berbuat apa-apa karena ia sibuk mengembangkan kekuatan maritimnya.
Dêmak sangat berhasrat menjadi penguasa Nusantara layaknya Majapahit dahulu, yang berjaya di lautan.
Tetapi yang paling ditakuti Dêmak bukanlah Daha, melainkan justru ahli waris takhta Majapahit di Jawa belahan tengah, Ki Agêng Pêngging.
Ia pun menjadi ancaman Giri Kêdhaton, kerajaan bercorak Islam di Jawa belahan timur. Ditambah perselisihan dalam Majelis Wali Sanga antara Sunan Giri dan Syekh Siti Jênar, sosok berpengaruh yang sangat dekat dengan Ki Agêng Pêngging, Dêmak merasa keberadaannya makin terjepit.
Novel ini membabar konflik-konflik di tanah Jawa setelah keruntuhan Majapahit, yang sangat jarang dikisahkan.