Setelah beberapa kali menyelenggarakan perkumpulan pengajian yang membahas mengenai tafsir Al-Quran, Markesot mulai dibicarakan orang-orang.
Mereka bertanya-tanya mengenai latar belakang ilmu agama yang dimiliki Markesot.
Apalagi selama ini, dia tidak dikenal sebagai ulama, ustaz, maupun santri lulusan madrasah sekalipun.
Sementara itu, Markesot merasa berkecil hati. Ia bertanya-tanya apakah manusia biasa seperti dirinya memang tidak diperbolehkan memesrai Al-Quran dengan cara yang demikian?
Mana mungkin seseorang hanya membaca Al-Quran dengan bibirnya, tanpa hati dan pikirannya ikut terlibat?
Sengaja atau tak sengaja, meniati atau tidak, hati langsung bergetar dan akal langsung bekerja, pikirnya.
Melalui kisah Markesot, Emha Ainun Nadjib “menggandeng” kita untuk memiliki jati diri seorang pembelajar: manusia yang terus mencari kebenaran, tanpa pernah sekalipun merasa paling benar terhadap penafsirannya sendiri.