Pada tahun 1742, benteng Kerajaan Mataram Islam di Kartasura hancur oleh serangan laskar Jawa dan Tionghoa.
Serangan itu dipicu oleh peristiwa Geger Pacinan, pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap Belanda di Batavia pada tahun 1740.
Dipimpin seorang bangsawan bernama Sunan Kuning, orang-orang Tionghoa dan Jawa yang sama-sama kecewa dengan pemerintahan Pakubuwana II, raja Mataram yang dekat dengan Belanda, pun mengobarkan pemberontakan.
Sejak saat itu rakyat Mataram terbelah dua: antara yang memihak Sunan Kuning dan Pakubuwana II. Di mana-mana terjadi perang dan banjir darah.
Jatuhnya Kartasura melatarbelakangi lahirnya seorang tokoh besar tanah Jawa: Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa! Seorang kesatria yang disingkirkan dari istana Mataram.
Setelah Sunan Kuning menguasai Kartasura, Pangeran Sambernyawa berada di persimpangan jalan.
Meskipun Pakubuwana II pamannya, ia tak bisa membela karena ada Belanda di belakangnya.
Tetapi ia pun tak hendak memihak penguasa baru sebab ia merasa Sunan Kuning bukan pemimpin yang diharapkannya.
Pada masa yang sangat genting itu, peristiwa demi peristiwa dialami Pangeran Sambernyawa.
Seseorang meracuninya hingga ia mati suri berhari-hari.
Ketika tubuhnya lemah tanpa daya, kekuatan dahsyat berupa Tridaya sakti justru bangkit di dalam dirinya.
Simpul-simpul pada tujuh cakra di tubuhnya terbuka dan mampu mengalirkan tenaga murni sepenuhnya.
Perjumpaannya dengan rakyat yang menderita memantapkan hatinya untuk memperjuangkan keadilan.
Kasih sayang dari orang-orang yang tulus membuat jiwanya semakin menyadari sesanti leluhur Jawa: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Angkara murka bakal lebur oleh cinta kasih!
Berkiblat pada keadilan dan cinta kasih, Pangeran Sambernyawa pun mempersiapkan kekuatannya untuk membebaskan rakyat Jawa dari belenggu penderitaan dan penjajahan!