Sejak Dinasti Ming melarang armadanya berlayar ke luar Cina, ditambah rentannya Majapahit setelah Rani Suhita mangkat pada tahun 1447, perjanjian antara Tiongkok dan Majapahit selepas Perang Paregregyang memberikan jaminan keamanan kepada warga keturunan Cina di Majapahitpun mulai goyah.
Haji Gan Eng Chu, pejabat Dinasti Ming untuk kawasan Asia Tenggara yang berkedudukan di Lasm, berencana menggalang kekuatan prajurit demi keamanan warga keturunan Cina.
Bong Swie Hoo alias Sayyid Ali Rahmad diperintahnya untuk menempati daerah Bangr.
Dari sana dia diharapkan bisa menjadi penghubung warga Cina yang tinggal di Jawa sebelah timur dengan Lasm.
Di sisi lain, Tuban yang semakin makmur menimbulkan kecemasan sejumlah pejabat pribumi Majapahit.
Kemakmuran Tuban salah satunya disebabkan oleh kebijakan Adipati Arya Adikara yang memberikan kesempatan kepada orang-orang Atas Angin untuk masuk ke jajaran pemerintahan, termasuk mengangkat Gan Eng Wan, adik Haji Gan Eng Chu, sebagai patih Tuban.
Lalu tersingkaplah sebuah desas-desus tentang rencana penyerbuan atas Tuban yang digerakkan oleh beberapa pejabat Majapahit.
Namun Adipati Tuban tidak mempercayainya.
Tumenggung Wilwatikta, menantu Adipati Tuban, meminta tolong kakaknya di Lasm, Pangeran Wirabraja, untuk menyelisik kebenaran desas-desus itu.
Kerusuhan besar pun membayang-bayangi Tuban.
Dalam pada itu, Bhre Krtabumi, didampingi dua punakawannya yang setia, Sabda Palon dan Naya Genggong, mulai mendapat petunjuk dari sosok misterius yang dipercaya sebagai Roh Nusantara.
Petunjuk itu menggiringnya pada pengetahuan tentang hakikat tanah Nusantara, yang dalam penglihatan batinnya pernah menjadi pusat peradaban dunia, dikenal sebagai Ataladwipa.
Begitu pula Sayyid Ali Rahmad.
Dia memperoleh penampakan gaib yang mahadahsyat.
Tanda-tanda perubahan zaman mulai terlihat.
Jawa akan berganti wajah.
Agama lama bakal sirna digantikan agama baru.
Dan Bhre Kertabumi dan Sayyid Ali Rahmad adalah dua orang yang terpilih sebagai pengawal perubahan mahabesar yang bakal mengubah wajah dunia.