Beberapa tahun belakangan, gerakan nikah muda di Indonesia semakin marak. Di sisi lain, sindiran-sindiran ataupun guyonan-guyonan tentang kejombloan pun meningkat. Fenomena ini sudah jamak kita temukan di media-media sosial ataupun dalam interaksi sosial masyarakat.
Di tengah-tengah hal seperti itu, penerjemahan kitab yang temanya terbilang kontroversial ini menjadi penting untuk dilakukan. Setidaknya untuk mengimbangi pandangan-pandangan negatif terhadap para jomblowan dan jomblowati. Bahwa, memilih jomblo, bahkan untuk seumur hidup pun, tidak melulu sebuah hal negatif. Bahkan sebaliknya, menjomblo seumur hidup, bisa menjadi hal yang bersifat positif.
Telah menjadi mafhum bahwa menikah adalah sunnah Nabi yang sangat dianjurkan dan diutamakan. Bahkan salah satu hadis secara tegas menyatakan bahwa; “al nikahu sunnati, faman raghiba an sunnati falaysa minni” (nikah itu sunnahku, barang siapa tidak suka sunnahku, maka tidak termasuk kelompokku).
Pertanyaan awam tentang fenomena ini mungkin saja adalah: “apakah para Ulama besar itu berani tidak mengikuti sunnah Nabi?” Tentu saja kita tidak akan berani secara gegabah menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban “ya”, karena di jajaran ini kita menemui mereka yang tidak diragukan lagi kealiman dan kesalehannya, seperti Ibnu Jarir At-tabari, Imam Nawawi al-Dimasyqi, Ibnu Taimiyah, Syaikh Zamakhsyari, dan beberapa ulama besar lain yang secara begitu detil diuraikan dalam buku ini.
Mereka adalah manusia-manusia mulia yang mengorbankan kenyamanan hidup berkeluarga. Mereka adalah para ulama yang berjuang dan berkorban, demi ilmu dan kemaslahatan umat manusia.