Jika diibaratkan, adab ibarat tombak utama dalam mencari ilmu.
Tanpa adab, ilmu seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak berguna karena tidak bisa diterapkan dengan cara yang baik.
Saking pentingnya adab, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan, “Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis lebih tinggi ilmunya daripada manusia.”
Pernyataan ini tentu melandaskan bahwa seseorang harus mengutamakan adab di atas ilmu.
Ia rentan disergap kesombongan dan perilaku semena-mena.
Alangkah alimnya iblis, tapi ia dihempaskan juga dari surga lantaran kecerdasan intelektualnya kering dari akhlak mulia.
Masih banyak lagi contoh yang sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa ternyata kepintaran yang menjulang langit sungguhlah tidak ada nilai apa-apa bila tidak dibingkai dengan akhlak mulia.
Saking agungnya adab di atas ilmu, sampai-sampai Imam As-Syaf’I menuturkan dengan nada gemetar, “aku sangat berhati-hati membuka lembaran kitab di hadapan guruku (Imam Malik) lantaran khawatir bila bunyi kitabku terdengar dan mengganggunya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa keberkahan ilmu itu terletak pada diri murid yang beradab dalam berinteraksi dengan gurunya.
Nah, buku ini ditulis oleh Imam Nawawi dalam rangka menegaskan perihal pentingnya mendahulukan adab di atas segala-galanya dalam proses belajar mengajar al-Qur’an ataupun lainnya.
Tidak hanya untuk murid, adab-adab yang disebutkan di dalam buku ini juga untuk para guru dalam mengajar.
Tujuannya, agar murid dan guru tersebut lebih mudah menuai lapis-lapis keberkahan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat nanti.