Salah satu buku non-fiksi yang menghadirkan bagaimana mengenal rasa sedih. Didalamnya berisi tentang kondisi dimana kita merasakan kesedihan, misalnya kematian, kegagalan, insecure, penyesalan, dll. Selain itu disisipkan ayat2 Al Qur’an dan Hadist sebagai penguat bagaimana kita bisa menerima suatu keadaan.
Buku ini berisi kata-kata yang dirangkai sangat menarik sehingga saya betah berlama-lama membacanya. Buku ini bagai teman, teman yang langka karena jika teman pada umumnya melihat kita menangis mereka akan bilang “sudah jangan menangis” atau “kamu sudah besar buat apa menangis” namun buku ini akan mengatakan sebaliknya “tidak apa-apa menangis” “menangislah kalau itu membuatmu tenang”.
Penulis buku ini pandai memilih topik yang sangat akrab dengan masalah sehari-hari. Beliau juga sangat baik dalam mendeskripsikan bagaimana cara berlaku adil terhadap rasa. Bagaimana sedih membuat hati menjadi lembut, atau apa yang terjadi jika mengesampingkan perasaan sedih, hal-hal tersebut dibahas dalam buku ini.
Siapa, sih yang tidak pernah merasa sedih? Saya yakin setiap orang pernah merasa sedih.Tinggal bagaimana menyikapi kesedihan tersebut. Bahkan Rasulullah pun pernah merasa sedih.Buku ini mengajak pembaca untuk memahami makna kesedihan dari sudut pandang yang berbeda. Kita diingatkan bahwa sesekali merasa sedih bukanlah suatu aib. Namun itu wajar. Karena kesedihan adalah salah satu bumbu kehidupan. Tidak mungkin setiap saat kita merasa bahagia. Hidup itu berputar, ada suka, duka.Maka jangan takut mengekspresikan kesedihan. Yang terpenting kita tidak sampai larut hingga lupa daratan. Ingatlah masih ada Allah yang siap menjadi pendengar, tempat bersandar.
Secara keseluruhan buku bagus. Banyak quotes yang bertebaran yang membuat kita semakin menyadari bagaimana mengelola rasa sedih dengan bijak. Di antaranya “Orang terkuat, bukanlah dia yang mampu mengalahkan lawan, tapi dia yang mampu meredam kemarahan. Orang terbaik, bukan dia yang selalu menebar senyuman, tapi dia yang mampu tampil dengan penuh ketulusan.”